Perubahan kerap terasa kejam. Coba tengok kotak tempat telepon umum koin di sekitar Anda. Benda yang pernah penuh jasa itu kini dibiarkan merana dan tersia-sia.
Di kantor PT Telkom Divisi Regional IV Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Rabu (10/2/2010), kotak dari aluminium dan kaca itu menjadi tempat pembersih sampah. Dua caping digantung di tempat gagang telepon yang sudah tidak lagi ada. Sapu, pengki, dan keranjang sampah digeletakkan di dalamnya.
Lokasinya di dalam areal PT Telkom yang membuatnya aman dari aksi vandalisme. Namun, mari kita tengok kotak serupa di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta. Beberapa lembar aluminium penutupnya hilang. Aluminium yang tersisa penuh coretan spidol dan cat serta goresan benda tajam. Pesawat telepon tidak ada lagi. Hanya sampah kertas, plastik, daun kering, dan debu tebal yang menghuninya.
Di lokasi lain, kondisi serupa bisa dijumpai. Benda yang 10 tahun masih diantre kini tidak digubris lagi. Keberadaannya pun menjadi pertanyaan bagi generasi yang saat ini disebut sebagai digital native.
Seperti diakui Public Relation PT Telkom Divisi Regional IV Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Sudjatmiko, dalam lima tahun terakhir, telepon umum, terutama koin, menghilang. Jika tahun 2005 terdapat lebih dari 1.000 unit pesawat telepon umum di Kota Yogyakarta, akhir 2009 hanya tinggal 178 unit. Sebanyak 822 unit telepon umum menghilang dari ruang publik kita.
Selain karena dirusak dan hilang, pesawat telepon umum itu berkurang karena tidak adanya upaya untuk membuatnya tetap bertahan. Tidak diproduksinya lagi suku cadang membuat ”kanibalisasi” dibenarkan. Pesawat telepon umum yang rusak suku cadangnya diganti dengan membongkar pesawat telepon umum lain. Sebuah upaya untuk tetap hidup yang mengenaskan untuk diceritakan.
”Kalau ada yang rusak, onderdilnya dikanibal untuk pesawat telepon umum yang lain,” tutur Sudjatmiko. Alasan lain tidak dipertahankannya telepon umum secara ”mati-matian” oleh PT Telkom adalah karena soal untung-rugi.
Menurut Sudjatmiko, tiga menit berkomunikasi dengan telepon umum biayanya hanya Rp 100. Padahal, tarif bisnis untuk berkomunikasi selama satu menit Rp 125.
Dari kacamata untung-rugi, tiga menit berkomunikasi biayanya Rp 375. Untuk itu, PT Telkom harus mengeluarkan subsidi Rp 275 atau 66 persen dari tarif sesungguhnya. Angkanya terasa kecil karena recehan. Namun, jika diakumulasikan, pasti besar jumlahnya. Meskipun milik negara, PT Telkom tetap harus mengambil keuntungan.
Karena hitung-hitungan untung-rugi ini, Sudjatmiko berujar, ”Dihitung secara apa pun penghasilan dari telepon umum tidak masuk hitungan bisnis.”
Selain tidak menguntungkan, hilangnya telepon umum dari ruang publik kita, menurut Sudjatmiko, karena masyarakat tidak peduli. Aksi vandalisme hingga pencurian telepon adalah beberapa indikasinya.
Meskipun ”dibiarkan” merana karena tidak menguntungkan lagi, tidak ada suku cadangnya, dan minimnya kepedulian masyarakat, telepon umum sebagai fasilitas tetap dicari. Meskipun tidak lagi dijumpai orang antre sambil menggenggam koin, telepon umum tetap dibutuhkan. Mudah didapatnya telepon seluler tidak menggantikan. Biaya komunikasi dengan telepon seluler terhitung lebih mahal.
Lihatlah Audina (13), murid kelas II SMP Negeri 5 Yogyakarta. Berbekal uang logam Rp 100, Audiana menghubungi keluarganya di rumah dari telepon umum di tepi jalan depan kantor PT Telkom. Waktu bicara tiga menit cukup baginya untuk minta dijemput.
Lazimnya remaja masa kini, Audina juga mengantongi telepon seluler di saku rok birunya. Meski demikian, ia hampir selalu menggunakan telepon umum di dekat sekolahnya untuk minta dijemput keluarganya. ”Lebih murah telepon pakai koin, cuma bayar seratus rupiah bisa bicara banyak,” katanya seusai meletakkan gagang telepon.
Audina yang mencoba berhemat tidak sendiri. Meskipun tidak banyak lagi, masih ada beberapa orang lain yang kerap menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi. ”Memberi kabar kepada istri di toko,” ujar Rokhim (37), buruh bangunan yang istrinya bekerja sebagai penjaga toko.
Rokhim punya telepon seluler, tetapi tidak adanya pulsa membuatnya lebih nyaman menggunakan telepon umum. Modalnya cuma Rp 100 bisa memberi kabar cukup panjang kepada istrinya. Kepada istrinya, Rokhim memberi kabar akan pulang lebih malam karena pekerjaan.
Ketika jaya, telepon umum memberi keuntungan bagi banyak orang. Antrean yang kerap panjang, misalnya, membuat penjual makanan dan minuman mendapat peluang. Menurut Yanto, juru parkir di depan kantor Telkom DIY, sekitar tujuh tahun lalu, telepon umum masih bisa menghadirkan lebih dari 100 orang. ”Orang bisa sambil makan batagor menunggu antrean,” ujar Yanto.
Untuk hilangnya telepon umum ini, kutukan bisa dialamatkan ke perubahan yang menghadirkan telepon seluler. Dengan banyaknya keunggulan telepon seluler, telepon umum tidak lagi bisa dibandingkan atau dibanggakan. Sebut, misalnya, fleksibilitasnya, mobile-nya, dan gaya yang dihadirkannya. Namun, untuk Audina dan Rokhim yang ingin berhemat, negara harusnya tetap mempertahankannya.
Sudjatmiko menyatakan, PT Telkom masih mempertahankan telepon umum yang tersisa dengan cara kanibal tentunya. PT Telkom belum berencana menambah pesawat telepon umum koin baru.
Kebijakan itu diambil setelah melihat arah pengguna telepon di masa depan yang tidak akan membuat pengguna telepon umum meningkat.
Meski begitu, Sudjatmiko tidak keberatan jika telepon umum dijadikan fasilitas pendukung pariwisata seperti terjadi di luar negeri.
Telkom siap bekerja sama dengan dinas pariwisata, terutama untuk mempercantik tampilannya. ”Pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga untuk menyediakan kotak telepon umum, kami siap menyediakan perangkat dan jaringannya,” tambahnya.
Terobosan ini perlu dipikirkan untuk memberi jejak pada setiap perubahan. Berbeda jika kita ingin menghadirkan peti mati di jalanan dalam bentuk kota telepon umum yang pernah menjadi penanda zaman. Perubahan memang kejam.
Di kantor PT Telkom Divisi Regional IV Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Rabu (10/2/2010), kotak dari aluminium dan kaca itu menjadi tempat pembersih sampah. Dua caping digantung di tempat gagang telepon yang sudah tidak lagi ada. Sapu, pengki, dan keranjang sampah digeletakkan di dalamnya.
Lokasinya di dalam areal PT Telkom yang membuatnya aman dari aksi vandalisme. Namun, mari kita tengok kotak serupa di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta. Beberapa lembar aluminium penutupnya hilang. Aluminium yang tersisa penuh coretan spidol dan cat serta goresan benda tajam. Pesawat telepon tidak ada lagi. Hanya sampah kertas, plastik, daun kering, dan debu tebal yang menghuninya.
Di lokasi lain, kondisi serupa bisa dijumpai. Benda yang 10 tahun masih diantre kini tidak digubris lagi. Keberadaannya pun menjadi pertanyaan bagi generasi yang saat ini disebut sebagai digital native.
Seperti diakui Public Relation PT Telkom Divisi Regional IV Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Sudjatmiko, dalam lima tahun terakhir, telepon umum, terutama koin, menghilang. Jika tahun 2005 terdapat lebih dari 1.000 unit pesawat telepon umum di Kota Yogyakarta, akhir 2009 hanya tinggal 178 unit. Sebanyak 822 unit telepon umum menghilang dari ruang publik kita.
Selain karena dirusak dan hilang, pesawat telepon umum itu berkurang karena tidak adanya upaya untuk membuatnya tetap bertahan. Tidak diproduksinya lagi suku cadang membuat ”kanibalisasi” dibenarkan. Pesawat telepon umum yang rusak suku cadangnya diganti dengan membongkar pesawat telepon umum lain. Sebuah upaya untuk tetap hidup yang mengenaskan untuk diceritakan.
”Kalau ada yang rusak, onderdilnya dikanibal untuk pesawat telepon umum yang lain,” tutur Sudjatmiko. Alasan lain tidak dipertahankannya telepon umum secara ”mati-matian” oleh PT Telkom adalah karena soal untung-rugi.
Menurut Sudjatmiko, tiga menit berkomunikasi dengan telepon umum biayanya hanya Rp 100. Padahal, tarif bisnis untuk berkomunikasi selama satu menit Rp 125.
Dari kacamata untung-rugi, tiga menit berkomunikasi biayanya Rp 375. Untuk itu, PT Telkom harus mengeluarkan subsidi Rp 275 atau 66 persen dari tarif sesungguhnya. Angkanya terasa kecil karena recehan. Namun, jika diakumulasikan, pasti besar jumlahnya. Meskipun milik negara, PT Telkom tetap harus mengambil keuntungan.
Karena hitung-hitungan untung-rugi ini, Sudjatmiko berujar, ”Dihitung secara apa pun penghasilan dari telepon umum tidak masuk hitungan bisnis.”
Selain tidak menguntungkan, hilangnya telepon umum dari ruang publik kita, menurut Sudjatmiko, karena masyarakat tidak peduli. Aksi vandalisme hingga pencurian telepon adalah beberapa indikasinya.
Meskipun ”dibiarkan” merana karena tidak menguntungkan lagi, tidak ada suku cadangnya, dan minimnya kepedulian masyarakat, telepon umum sebagai fasilitas tetap dicari. Meskipun tidak lagi dijumpai orang antre sambil menggenggam koin, telepon umum tetap dibutuhkan. Mudah didapatnya telepon seluler tidak menggantikan. Biaya komunikasi dengan telepon seluler terhitung lebih mahal.
Lihatlah Audina (13), murid kelas II SMP Negeri 5 Yogyakarta. Berbekal uang logam Rp 100, Audiana menghubungi keluarganya di rumah dari telepon umum di tepi jalan depan kantor PT Telkom. Waktu bicara tiga menit cukup baginya untuk minta dijemput.
Lazimnya remaja masa kini, Audina juga mengantongi telepon seluler di saku rok birunya. Meski demikian, ia hampir selalu menggunakan telepon umum di dekat sekolahnya untuk minta dijemput keluarganya. ”Lebih murah telepon pakai koin, cuma bayar seratus rupiah bisa bicara banyak,” katanya seusai meletakkan gagang telepon.
Audina yang mencoba berhemat tidak sendiri. Meskipun tidak banyak lagi, masih ada beberapa orang lain yang kerap menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi. ”Memberi kabar kepada istri di toko,” ujar Rokhim (37), buruh bangunan yang istrinya bekerja sebagai penjaga toko.
Rokhim punya telepon seluler, tetapi tidak adanya pulsa membuatnya lebih nyaman menggunakan telepon umum. Modalnya cuma Rp 100 bisa memberi kabar cukup panjang kepada istrinya. Kepada istrinya, Rokhim memberi kabar akan pulang lebih malam karena pekerjaan.
Ketika jaya, telepon umum memberi keuntungan bagi banyak orang. Antrean yang kerap panjang, misalnya, membuat penjual makanan dan minuman mendapat peluang. Menurut Yanto, juru parkir di depan kantor Telkom DIY, sekitar tujuh tahun lalu, telepon umum masih bisa menghadirkan lebih dari 100 orang. ”Orang bisa sambil makan batagor menunggu antrean,” ujar Yanto.
Untuk hilangnya telepon umum ini, kutukan bisa dialamatkan ke perubahan yang menghadirkan telepon seluler. Dengan banyaknya keunggulan telepon seluler, telepon umum tidak lagi bisa dibandingkan atau dibanggakan. Sebut, misalnya, fleksibilitasnya, mobile-nya, dan gaya yang dihadirkannya. Namun, untuk Audina dan Rokhim yang ingin berhemat, negara harusnya tetap mempertahankannya.
Sudjatmiko menyatakan, PT Telkom masih mempertahankan telepon umum yang tersisa dengan cara kanibal tentunya. PT Telkom belum berencana menambah pesawat telepon umum koin baru.
Kebijakan itu diambil setelah melihat arah pengguna telepon di masa depan yang tidak akan membuat pengguna telepon umum meningkat.
Meski begitu, Sudjatmiko tidak keberatan jika telepon umum dijadikan fasilitas pendukung pariwisata seperti terjadi di luar negeri.
Telkom siap bekerja sama dengan dinas pariwisata, terutama untuk mempercantik tampilannya. ”Pemerintah bisa menunjuk pihak ketiga untuk menyediakan kotak telepon umum, kami siap menyediakan perangkat dan jaringannya,” tambahnya.
Terobosan ini perlu dipikirkan untuk memberi jejak pada setiap perubahan. Berbeda jika kita ingin menghadirkan peti mati di jalanan dalam bentuk kota telepon umum yang pernah menjadi penanda zaman. Perubahan memang kejam.
0 komentar:
Posting Komentar